Cerpen Romantis: Aku, Kamu dan Langit Senja


Aku, Kamu dan Langit Senja


“Apakah kita akan selalu seperti ini?” ucapku mengawali pembicaraan, di bawah langit jingga sore itu. 

Kamu hanya tersenyum, menghentikan langkah, lalu menatapku dalam-dalam
“Ya. Tentu saja” katamu. Aku membalasnya dengan senyum. Lalu diakhiri dengan tangan kita yang saling menggenggam.
Kala itu, ada yang lebih lembut dari desir pasir yang kupijak, yaitu saat tangan kita saling menggenggam. Damai kurasa, ketika kulihat tatapan teduhmu.

“Kita akan selalu seperti ini. Selalu bersama. Percayalah” lanjutmu.
Ah sialan, sepertinya kamu berhasil menemukan kegelisahan yang coba kusembunyikan. Aku hanya terdiam, menatap tajam mentari yang hampir tenggelam.

Beberapa saat kita menikmati hening yang semesta ciptakan. Terhanyut dalam suasana senja yang menentramkan. Merasakan semilir angin yang menyejukkan. Diiringi suara debur ombak yang menenangkan.
“Mungkin aku hanya kau anggap sebagai seorang adik” ucapku memecah keheninganKamu menatap ke arahku, menarik napas dalam-dalam, lalu diam sejenak
“Aku tahu, menempatkanmu berada di posisi tanpa kejelasan seperti ini sangat tidak mengenakkan. 

Memang tak dapat kuuraikan alasanku. Namun percayalah, meski tanpa ikatan, kamu tetap menjadi seseorang yang menarik untuk kusinggahi. Percayalah, hanya kepadamulah sepi ini berakhir”

Aku hanya terdiam mencerna kata-katamu. Lalu kamu melanjutkan “keberadaanmu membuatku percaya, bahwa meski tanpa suara, meski tanpa ikatan, cinta masih bisa tumbuh dan bertahan meski bertahun-tahun terabaikan. Cinta tak perlu diumumkan, cukup kita rasakan. Karena aku dan kamu, akan tetap menjadi kita, meski tanpa ikatan. Seringkali mungkin kamu merasa bahwa telah banyak moment yang selalu aku abaikan jika itu menyangkut kamu. Percayalah, kadangkala waktu kita tidak harus dijalani untuk bersama, adakalanya kesendirian adalah waktu yang tepat untuk bisa saling memahami dalam diam. Karena semua perlu batas, hingga akhirnya semua menjadi pantas”

Aku terpaku, terdiam seribu bahasa setelah mendengar penjelasan itu dari mulutmu. Tak berani mata ini untuk melihat ke arahmu, karena ada linangan air mata yang kuhindari. Dan kamu kembali menggenggam tanganku, genggaman yang berarti menguatkan. Ah, linangan itu tak bisa kusembunyikan, dapat kurasakan sesuatu yang hangat mengalir begitu deras di pipi. Oh Tuhan, dari mana air itu berasal?
Kamu masih menatap kejauhan, dengan genggaman yang semakin erat. Aku tahu, genggaman itu untuk saling menguatkan, genggaman yang berusaha membatasi angan yang ingin saling memiliki dalam kebebasan, namun sadar akan batasan.

Semenjak saat itu, kepergianmu bukan lagi sesuatu yang harus kuratapi, namun adalah hal baru yang harus kupercayai untuk kembali.

Semenjak saat itu, pengabaianmu bukan lagi sesuatu yang kubenci, namun adalah peristiwa yang harus kuhargai untuk kupahami.

Semenjak saat itu, cinta bukan lagi dilihat dalam lamanya menanti, namun adalah seberapa kuat kita bertahan pada satu hati.

Semenjak saat itu, langit senja menjadi saksi.


Cerpen Karangan: Laila Dewi Sri Wahyuni




Sumber : Cerpenmu.com

Related Posts: