Siapa Sangka
Telah menjadi rahasia umum di kalangan perempuan sekelas bahwa Shiella diam-diam menyukai Wildan. Memang patut kuacungi jempol atas ketegaran hati dan kepandaiannya menyembunyikan perasaan selama dua tahun terakhir. Rapat dan rapi sekali, hingga tak ada seorangpun curiga bahwa ada yang diam-diam jatuh cinta dengan teman sekelas. Bahkan sahabat dekatnya sendiri pun tak pernah tahu sebelum akhirnya Shiella menceritakan sendiri perasaannya pada sahabatnya itu. Nah, justru setelah bercerita, lama-kelamaan sikapnya mulai berbeda saat di dekat Wildan. Sedikit canggung, salah tingah, dengan pipi memerah. Pada akhirnya, semua perempuan di kelas, termasuk aku, tahu dengan sendirinya lewat gelagat aneh Shiella.
Kenyataan bahwa dia menyimpan rasa untuk Wildan inilah yang membuatku merasa bersalah padanya. Selama dua tahun dia lihai menyimpan rasa itu rapat-rapat, dan selama itu pula justru aku yang selalu dicomblangkan dengan Wildan oleh teman-teman. Entah bagaimana awalnya, comblangan itu terus terjadi setiap saat selama dua tahun. Di awal-awal comblangan itu, aku selalu membantah. Aku tidak ada rasa dengan Wildan. Bukannya berhenti, justru mereka semakin heboh melayangkan comblangan. Lama-lama aku lelah menanggapi mereka dan memutuskan untuk diam. Toh tidak ada gunanya juga membantah sikap bebal mereka. Aku benar-benar tidak ada rasa dengannya.
Aku merasa bersalah saat menyadari bahwa ternyata selama itu Sheilla merasakan cinta dan sakit dalam waktu yang bersamaan karena aku. Hebatnya, dia tak pernah sekalipun marah padaku, justru saat teman-teman asyik mencomblangkan aku dan Wildan, dia ikut berseru-seru sambil tertawa riang. Dia terlihat begitu tenang, tanpa ada air muka cemburu sedikitpun, meski hati seseorang tak ada yang tahu.
Walaupun comblangan itu sudah menjadi makanan sehari-hari, aku sama sekali tak ada rasa dengan Wildan. Justru aku merasa risih dengan kelakuan mereka, apalagi setelah mengetahui kenyataan baru ini. Maka, sebisa mungkin aku menjauh dari Wildan untuk menghindari comblangan itu. Bukannya semakin menghindar, aku justru sering satu kelompok dengannya di beberapa mata pelajaran seperti hari ini.
Seolah tak terjadi apa-apa, Shiella selalu menjabat tanganku erat sambil melayangkan senyum manisnya setiap datang ke sekolah. Memang sudah menjadi kebiasaannya setiap datang ke sekolah, dia bersalaman dengan semua teman sekelas. Sikapnya yang biasa saja inilah yang justru membuatku semakin sesak saat dia menjabat tanganku.
Mungkin hati ini akan lebih lega kalau dia datang dan marah-marah sepuasnya padaku. Tetapi mengapa ia hanya diam saja? Membiarkanku terbelenggu dengan rasa bersalah yang semakin mendalam. Mengapa ia tak katakan saja semuanya pada teman-teman sekelas? Biar mereka tahu ucapan mereka setiap hari bagaikan sembilu menyayat hatinya.
Meskipun semua teman perempuan mengetahui hal ini, mereka sama sekali tak pernah menggosipkan Shiella. Mereka segan untuk membicarakan seseorang yang sama sekali tidak pernah bocor kisah cintanya, kecuali hanya pada sahabat dekatnya. Begitupun denganku yang segan untuk menanyakan kebenaran ini pada Alwa, sahabat dekat Sheilla. Mereka hanya saling lirik saat mendapati Shiella sedang bersama Wildan dengan pipi merah jambu. Maka dari itulah, aku semakin yakin bahwa sebenarnya kisah cinta diam-diam Shiella sudah tersebar di benak semua perempuan di kelas. Semenjak itulah, mereka tak pernah lagi mencomblangkanku dengan Wildan.
Berbeda dengan para lelaki, mereka sama sekali tidak peka dengan hal ini dan semakin asyik mengolok-olokku dengan Wildan. Mereka sama sekali tak peduli dengan perasaanku yang semakin sesak. Bahkan saat ini pun, saat pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung, mulut bebal mereka tak dapat dihentikan.
“Bro, bagaimana perasaan Anda bisa sekelompok lagi dengan Kalila? Satu kesempatan terbuka lagi, Gan.” ucap Gio pada Wildan sambil mengangkat sebelah alisnya.
Aku hanya menundukkan muka menggembungku, pura-pura tidak mendengarkan kalimat yang jelas-jelas terlontar di depanku. Ingin sekali aku menyumpal mulutnya dengan kaos kaki. Memang dialah orang yang selama ini memprovokasi comblangan bodoh ini. Sialnya, kenapa pula dia satu kelompok denganku hari ini.
“Hahaha.. sudahlah, Gio, ayo kita lanjut ke nomor 2. Tidak lihat wajah Kalila sudah merah, hah?” Sebuah suara riang menyudahi godaan Gio. Suara riang yang menyesakkan hatiku. Yap, aku pun satu kelompok dengan Sheilla hari ini. Kenapa pula aku harus satu kelompok dengan Wildan, saat ada Sheilla di sini?
Jam pelajaran Bahasa Indonesia yang biasanya berlalu menyenangkan, hari ini berlalu lambat dan menyesakkan. Kami dapat berdiskusi dengan lancar dan menyelesaikan pertanyaan dengan tuntas.
Namun mengapa wajah riang itu tidak berubah sama sekali saat Gio lagi-lagi menggodaku dengan Wildan? Hatinya terbuat dari apa, sih?
Sisa jam pelajaran dihabiskan Gio untuk kembali mengolok-olok. Aku tak kuat lagi, bisa-bisa benteng pertahananku hancur di sini. Kurasakan mataku mulai memanas dan sekelilingku menjadi kabur oleh genangan cairan bening di pelupuk mata. Aku segera berlari keluar kelas, izin sambil berlalu.
Pertahananku benar-benar runtuh saat aku tiba di ujung lorong kelas. Aku tersedu di sana. Di antara isakan kecil yang tak dapat kutahan, aku berjalan menuju toilet.
“Sheilla.. maafkan aku…” isakku pelan.
Kupandangi sesosok bayangan dengan mata sembab di cermin toilet. Lihatlah, wajahnya yang menguarkan aroma kejahatan dengan mata sembab yang mengisyaratkan betapa lemahnya dia. Sosok yang begitu jahat juga begitu lemah.
Tiba-tiba muncul sesosok bayangan lagi di sana. Aku terkesiap dan segera membalikkan badanku. Sheilla! Astaga! Apakah dia mendengar ucapanku tadi? Dalam sekejap napasku tercekat melihat wajah yang memandangku dengan teduh ini.
“Kalila, maafkan aku. Kamu menangis seperti ini karena aku ikut mengolokmu tadi, kan? Aku mohon maafkan aku, Kalila.” ucapnya sambil menyentuh bahuku lembut, kemudian memelukku.
“Aku mohon maafkan aku…” bisiknya lembut di telingaku.
Kalimatnya yang tulus membuatku semakin terisak di balik bahunnya. Aku yang harusnya minta maaf. Kukeluarkan semua sesakku lewat tangis dalam pelukan Sheilla, seseorang yang sangat ingin kumintai maaf. Lagi-lagi mengapa justru dia yang meminta maaf padaku?
Dia membiarkan aku menangis di pelukkannya.
Lima menit kemudian dia melepaskan pelukannya, mengusap pipiku lembut. Kupandangi wajahnya yang kini juga berlinang air mata.
“Kamu mau memaafkanku, kan?” Pertanyaannya kembali terlontar yang membuatku kembali tak dapat berkata-kata. Aku hanya mengangguk kecil.
“Syukurlah, kita kembali ke kelas, yuk. Sudah hampir 10 menit kita meninggalkan kelas.” Sebuah senyum terbit di wajahnya yang ayu.
Aku lagi-lagi hanya mengangguk kecil, mencuci muka yang penuh air mata, lantas berjalan kembali ke kelas. Di antara langkah kaki kami, ingin sekali aku mengungkapkan semuanya pada perempuan di sampingku ini. Apalah daya seorang yang jahat dan lemah sepertiku, aku bahkan tak mampu berkata sedikitpun padanya. Tenggorokanku serasa disumbat kaos kaki. Hingga tiba kembali ke kelas, tak sepatah kata pun kuucapkan padanya.
Sisa pelajaran hari ini kuhabiskan untuk memikirkan bagaimana cara agar mulut bebal mereka tersumpal dengan sendirinya. Kupandangi sekelilingku yang tengah serius memperhatikan Pak Jono menceritakan kisah kekejaman VOC di Indonesia. Rupanya hanya aku yang tidak memperhatikan. Aku memang terlihat diam dan memperhatikan, tapi sebenarnya pikiranku sedang melayang memikirkan banyak hal.
Aku harus memulai dari mana? Apakah aku harus memulai dengan bertanya pada Alwa? Kupandangi Alwa di bangkunya yang juga tengah serius memperhatikan. Merasa dirinya kupandangi, dia memandangku balik, bertanya lewat ekspresi wajah.
“Ah.. eh.. tidak jadi, tidak apa-apa.” Aku terkesiap, berkata sekenanya.
Tiga menit kemudian bel tanda pulang sekolah berbunyi. Kami rusuh mengemasi buku dan alat tulis yang berserakan di atas meja. Setelah memanjatkan doa, kami mulai berdiri satu per satu menyalami Pak Jono. Aku sudah bertekad untuk menghentikan ini semua, maka tanpa peduli sekitar yang masih menunggu giliran bersalaman, aku berkata lantang.
“Wildan, bisa kita bicara sebentar?” Aku menggigit bibir bawahku. Maafkan aku Shiella.
“Cieeee…!!! Ada yang mau jadian rupanya!” Mulut nyinyir Gio berulah lagi dan segera disusul oleh gelak tawa teman-teman.
“Iya.” Sementara Wildan hanya menjawab pendek. Kupandangi Shiella yang telah sampai di ujung barisan, menyalami Pak Jono dengan takzim. Lirih kudengar ia mengucap salam.
“Kami tunggu kabar baiknya ya, Bro!” Gio menepuk bahu Wildan sambil cengengesan.
Saat itu tak ada satupun yang memperhatikan bahwa Shiella berjalan menundukkan wajahnya usai menyalami Pak Jono. Aku menggigit bibir bawahku semakin kuat. Aku tahu hatinya sesak, sama seperti yang kurasakan saat ini, atau bahkan mungkin lebih sesak.
“Kamu mau bicara apa?” Wildan bertanya lebih dulu.
Aku yang sedang menunggu sambil memandangi ratusan siswa berjalan keluar kelas dari atas lantai dua, menoleh ke arahnya.
“Ehm..” aku berdehem pelan. ”Aku mau tanya sesuatu.” Aku mulai membuka suara.
“Tentang ocehan anak-anak itu?” Seperti bisa membaca pikiranku, dia merapat ke balkon, memandang kosong lapangan sekolah di bawah.
“Iya,” jawabku pendek, ”aku mulai terganggu dengan kelakuan mereka.” Aku ikut memandangi lapangan yang masih ramai oleh beberapa siswa yang baru keluar kelas.
“Maksudmu?” Dia menoleh padaku. “Tunggu, jangan bilang kalau kamu mulai termakan comblangan mereka.” Matanya menatap tajam ke arahku.
“Apa?” Sontak aku menoleh ke arahnya. “Tentu saja tidak. Jangan harap kalau aku lama-lama akan suka padamu gara-gara comblangan itu!” Nada bicaraku sedikit meningkat.
“Syukurlah kalau begitu. Lalu?”
“Aku mau menghentikan semua kekonyolan ini.”
Anak rambutnya berkibar pelan ditiup angin sore. “Kenapa tiba-tiba ingin menghentikan mereka? Kupikir selama ini kamu menikmatinya karena kamu hanya diam.”
“Apa?! Enak saja! Aku tidak suka padamu, itulah mengapa aku diam selama ini. Kalau aku menganggapi, mereka akan berpikir bahwa aku benar-benar suka padamu,” ucapku kesal.
“Wow.. wow.. tidak perlu marah-marah seperti itu.” Dia mundur satu langkah. Aku hanya mengembuskan napas kesal.
“Ada seseorang yang suka padamu selama ini.” Nada bicaraku kembali melunak.
“Hah? Apa katamu?” tanyanya tidak percaya.
“Shiella. Dia selama ini suka padamu.” Aku kembali menatap lapangan. ”Aku begitu merasa bersalah padanya karena aku selalu dicomblangkan denganmu.”
Dia berbalik, kembali merapat ke balkon, dan hanya menatap lurus. ”Benarkah itu Shiella? Tapi bukankah selama ini dia sama seperti yang lain?”
Aku mengangguk tanpa memandangnya. “Maka dari itu, hatiku semakin sesak melihatnya seperti itu. Mengapa dia hanya diam saja? Tidak cemburu, tidak marah padaku?” Aku berkata lesu.
“Oh Tuhan, benarkah itu Shiella? Syukurlah.. terimakasih, Tuhan.” Dia justru tersenyum lebar sekarang, tangannya mengepal-ngepal seperti habis memenangkan pertandingan.
Aku mengernyitkan dahi melihatnya. ”Woi.. aku butuh solusi.”
“Aku akan menghentikan mereka. Aku tahu caranya.” Dia memegang bahuku, berkata dengan wajah berbinar.
Ting! Aku segera paham apa yang terjadi. “Tunggu! Kamu juga suka dengan Shiella? Iya, kan?” tanyaku memburu. Tidak kusangka solusinya akan semudah ini.
Seketika dia diam dan wajahnya merah padam. Perlahan dia tersenyum malu-malu.
“Yeah!” Aku mengepalkan tinju ke udara sambil tertawa lebar. “Lakukan apa yang harus kamu lakukan besok, mengerti?”
“Beres!”
Hari ini akhirnya aku bisa pulang dengan bernapas lega, seperti telah meletakkan beban ribuan ton yang selama ini kubawa. Aku sungguh tidak menyangka solusinya akan semudah itu. Kalau tahu seperti ini, mengapa tak kukatakan sejak dulu?
Keesokan harinya, hari yang benar-benar kutunggu. Bahkan sejak semalam aku tidak bisa tidur sebab tak sabar menanti hari ini. Hari yang akan melepaskanku dari segala kesesakan, juga keperihan Shiella. Kesabaranmu selama ini sungguh akan berbuah manis, kawan.
Aku datang ke sekolah dengan senyum yang tak henti-hentinya terkembang. Hatiku begitu girang. Kusalami semua teman sekelas masih dengan senyum merekah, seperti yang dilakukan Shiella selama ini. Sayangnya tidak dengan Shiella. Dia datang dan menyalami semua teman, namun tidak dengan senyum manisnya. Wajahnya terlihat sembab dan pucat.
“Shiel, kamu sakit?” tanyaku saat aku menyalaminya. Dia hanya menggeleng lemah.
Dari balik pintu muncullah Wildan, juga dengan senyum lebar di wajahnya. Hari ini penampilannya sedikit berbeda, lebih rapi. Pastilah, hari ini dia akan membuat kesabaran Shiella berbuah manis.
“Selamat ya, Kalila,” ucap Shiella dengan memaksakan sebuah senyum hadir di wajahnya.
Senyumku segera tersumpal, hatiku mencelos mendengar kalimatnya. Ya Tuhan, jangan-jangan dia berpikir bahwa aku kemarin benar-benar jadian dengan Wildan? Pastilah hatinya sungguh gelisah kemarin, memikirkan kalimat Gio. Pastilah dia tidak bisa tidur, bahkan menangis tadi malam hingga wajahnya jadi sembab dan pucat seperti ini. Apalagi ditambah aku datang ke sekolah dengan wajah berbinar dan senyum terkembang, begitu pula dengan Wildan. Pastilah pikirannya tambah kacau hari ini.
Sebelum aku sempat menjawab ucapan Shiella, untunglah Wildan segera maju ke depan kelas dan berkata lantang, “Teman-teman, minta perhatian kalian sebentar, ya.”
Aku melirik Shiella, kembali dengan senyum merekah. Justru yang kupandang membuat senyumku kembali tersumpal. Dia menundukkan wajahnya dalam-dalam. Kalau boleh kutebak, pasti dia berpikir bahwa Wildan akan mengumumkan peresmian hubungan kami kemarin.
“Wah wah.. rupanya kemarin benar-benar terjadi.” Gio berkata setengah berteriak yang segera memicu teman-teman untuk kembali mengolok kami berdua. Tapi kulihat Wildan tetap tersenyum.
Setelah semua kembali tenang, dia meneruskan kata-katanya, “Selama ini kalian semua selalu mencomblangkanku dengan Kalila.”
Aku terkesiap mendengar namaku disebut. Mengapa dia harus menyeret-nyeret namaku dalam urusan ini?
“Suit suit..” Beberapa anak mulai berkomentar lagi.
“Karena comblangan itu terus terjadi setiap saat tanpa henti, kalian menganggap bahwa kami memang saling suka, betul?”
“Betuuulll!!!” jawab anak-anak serempak. Apa yang dilakukannya? Ini semua keluar dari skenarioku.
“Maka pada hari ini, aku akan mengungapkan seluruh perasaanku.” Wildan terdiam sejenak, sengaja membuat suasana tegang dan menunggu komentar mereka.
“Cieee cieee… ada yang mau jadian niih..!” Satu dua mulai ada yang berkomentar.
Mukaku benar-benar seperti udang rebus. Sial, aku juga jadi ikut tegang mendengarkan dia berbicara seperti itu. Apalagi ditambah dengan riuhnya olok-olok dari teman-teman. Bahkan satu dua anak perempuan sudah mulai menyikutku dengan wajah menggoda. Hanya Shiella yang sedari tadi tak bergerak dari tempat duduknya, menatap takzim lantai di bawah meja. Aku tahu persis bagaimana perasaannya saat ini.
“Bahwa selama ini aku telah jatuh cinta kepada salah seorang perempuan di kelas ini. Wajahnya yang ayu dan selalu riang membuatku tak dapat berhenti memikirkannya. Sikapnya yang ramah pada siapapun selalu membuatku berharap dia akan terus menyapaku. Kesabaran hatinya seluas samudera seperti takkan pernah habis meski digerus perlahan-lahan setiap hari. Aku mencintaimu…” lagi-lagi Wildan berhenti sejenak, sengaja membuat kalimatnya mengambang. Kali ini aku tahu persis kalimat ini untuk siapa. Aku tersenyum lega.
“…Shiella,” ucap Wildan mengakhiri kalimatnya.
Sejenak kelas menjadi sunyi. Kalimat yang keluar dari mulut Wildan sungguh berbeda dengan isi benak masing-masing anak, termasuk Shiella. Mendengar namanya disebut, dia sekonyong-konyong langsung mengangkat wajahnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Aku mencintaimu Shiella,” ucap Wildan sekali lagi, menegaskan kalimatnya lalu berjalan ke arah Shiella.
Aku sudah melompat-lompat kegirangan. Namun tidak dengan teman-teman. Godaan riuh yang sedari tadi mengiringi bungkam seketika. Mereka masih bingung dengan apa yang terjadi. Bagaimana mungkin Wildan justru menyatakan cintanya pada Shiella, bukan padaku? Mungkin begitu benak mereka.
“Waaa.. penonton kecewa!” Gio yang lagi-lagi berkomentar pertama kali. Hanya saja kali ini tidak diikuti dengan suara riuh teman-teman. Mereka sedang asyik mengikuti setiap langkah Wildan.
Perlahan diraihnya tangan Shiella dan memintanya berdiri. Sinar mentari pagi dengan jelas menyinari wajah Shiella yang mulai merona kembali. “Shiella, aku mencintaimu. Apakah kamu juga mencintaiku?”
“Aku..” Sheilla berkata terbata.
“Sudah pasti dia mencintaimu, Wildan. Seluruh ceritanya tumpah kepadaku,” sahut Alwa dengan wajah berbinar. Rupanya ia juga ikut merasakan kebahagian sahabatnya itu.
Tanpa aba-aba seluruh kelas segera riuh dengan berbagai ucapan selamat. Bahkan satu-dua anak ada yang sampai naik ke atas meja sambil bersuit-suit. Aku segera berlari memeluk Shiella erat-erat.
“Tunggu!” ucap Gio keras, menghentikan seluruh keriuhan, “Bagaiman dengan Kalila? Kamu tidak patah hati?” Seluruh kelas kembali terdiam.
“Tentu saja tidak. Aku juga punya kejutan untukmu, Kalila.” Sebelum aku sempat menjawab, Wildan telah mendahului.
“Apa?” Aku lebih tertarik pada ucapan Wildan. Kejutan apa untukku?
Tiba-tiba saja, dari balik pintu, muncullah sesosok laki-laki berperawakan tinggi tegap, melangkah penuh percaya diri ke dalam kelas. Dia terus melangkah menuju ke arahku. Seketika aku membeku.
“Rasya..” desisku pelan. Dialah yang selama ini mencuri mimpi-mimpiku.
Cerpen Karangan: Nur Hidayah
Blog / Facebook: nuurhidayah23.blogspot.com / Nur Hidayah
Sumber: Cerpenmu.com
Related Posts: